PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIA PERIODE 1950-AN

PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIA
PERIODE 1950-AN


A.    Latar Belakang
Kesusastraan Indonesia adalah kesusastraan yang berkembang mulai berabad – abad yang lalu. Setiap masa selalu berubah baik bentuk maupun isinya. Munculnya kesusastraan Indonesia baru diawali dengan munculnya kesadaran nasional. Sejak lahirnya kesadaran nasional itu muncullah pembagian sejarah kesusastraan atau yang dinamakan periodesasi sastra.
Pada periode 1950-an ini telah lahir peristiwa sastra yang ditandai dengan lahirnya majalah yang dinyatakan pertama kali oleh Nugroho Susanto dalam tulisannya yang berjudul “angkatan 45” yang dimuat dalam majalah kompas. Majalah pada periode ini berkembang pesat. Hal ini merupakan jawaban yang tepat bahwa sastra Indonesia tidak mengalami krisis. Lahirnya sastra majalah merupakan lahirnya suatu proses baru dalam sastra Indonesia sesudah Chairil Anwar meninggal. Dalam simposium yang diselenggarakan di Universitas Indonesia pada tahun 1955. Haridjadi, S. Hartowardoyo telah mengisyaratkan adanya suatu periode sastra baru setelah Chairil Anwar.
Pada tahun 1950-an terjadi kelesuan dalam bidang ekonomi, hal ini menyebabkan adanya kemacetan di segala bidang khususnya bidang penerbitan. Akibatnya, hamper setiap karya sastra diterbitkan melalui majalah. Selain itu, munculnya sastra majalah dikarenakan pasifnya penerbitan Balai Pustaka yang bernaung di bawah Balai Pustaka. Sejak tahun 1953 Balai Pustaka mengalami kemacetan karena berkali – kali berubah status dan dipegang oleh orang yang bukan ahlinya sehingga anggaran yang tersedia tidak cukup. Aktivitas sastra hanya dimuat dalam majalah – majalah,seperti majalah Gelanggang, Siasat, Mimbar Indonesia, Pujangga Baru, kisah, Kompas (Majalh Mahasiswa UI), Prosa, Konfrontasi, Seni dan Budaya (Jogja). Para pengarang hanya menulis cerpen, sajak, dan karangan lainnya yang dibutuhkan majalah. Penyaluran karya sastra para pengarang hanya pada majalah sehingga muncul adanya sastra majalah.
B.     Karakteristik

1.                  Pada periode ini tidak muncul istilah “angkatan”.
2.                  Secara umum, para sastrawan tidak berguru kepada pengarang asing lagi, melainkan kepada pengarang asli Indonesia.
3.                  Karya sastra yang muncul berupa cerpen, drama, sajak,dan sedikit novel
4.                  Pada periode ini muncul sastra majalah.
5.                  Tema yang diangkat tentang kehidupan sehari – hari bahkan tentang masalah kedaerahan. Contoh : “Pulang” karya Toha Mochtar.
6.                  Menunjukkan sastra nasional Indonesia yang ditunjukkan dalam puisi yang bertema kebudayaan daerah.
7.                  Keindahan puisi sudah dimulai didasarkan pada peleburan (kristalisasi) antara ilmu dan pengetahuan asing dengan perasaan dan ukuran nasional.

C.    Tokoh Sastrawan dan Karya yang Dihasilkannya
1.      Nugroho Susanto
Hasil karyanya :
        Hujan Kepagian (1958)
        Raja Sajange (1961)
        Tiga Kota (1959)
2.      Ali Akbar Navis
Hasil karyanya :
        Robohnya Surau Kami – 8 cerita pilihan (1955)
        Hujan Panas (1964)
        Bianglala – kumpulan cerita pendek (1964)
        Kemarau (1967)
3.      Nh. Dini
Hasil karyanya :
        Dua Dunia (1950)
        Hati Yang Damai (1961)
        Namaku Hiroko
        Pada Sebuah Kapal
4.      Sitor Situmorang
Hasil karyanya :
        Dalam Sadjak (1950)
        Djalan Mutiara : Kumpukan Tiga Sandiwara (1954)
        Pertempuran dan Saldju di Paris (1956)
        Surat Kertas Hijau : Kumpulan Sadjak (1953)
        Wadjah Tak Bernama : Kumpulan Sadjak (1955)
5.      Mochtar Lubis
Hasil karyanya :
        Tak Ada Esok (1950)
        Jalan Tak Ada Ujung (1952)
        Tanah Gersang (1964)
        Si Djamal (1964)
6.      Marius Ramih Dayoh
Hasil karyanya :
        Putra Budiman (1951)
        Pahlawan Minahasa (1957)
7.      Ajip Rosidi
Hasil karyanya :
        Tahun – Tahun Kematian (1955)
        Di Tengah Keluarga (1956)
        Sebuah Rumah Buat Hari Tua (1957)
        Cari Muatan (1959)
        Pertemuan Kembali (1961)
8.      Toto Sudarto Bachtiar
Hasil karyanya :
        Suara : Kumpulan sajak 1950 – 1955 (1956)
        Etsa : sajak - sajak (1958)

9.      Ramadhan KH.
Hasil karyanya :
        Priangan si Jelita (1956)
        Yerma Saja (1959)
        Rumah Bernarda Alba
        Canciones
        Romancero Gitano
10.  W.S. Rendra
Hasil karyanya :
        Balada Orang – Orang Tercinta (1957)
        Terbunuhnya Atmo Karpo
        Tahanan : sajak
        Gugur : sajak
        4 Kumpulan Sajak (1961)
        Ia Sudah Bertualang (1963)
        Oedipus Sang Raja : Terjemahan Karya Penulis Drama (496-406 SM)
11.  Subagio Sastrowardojo
Hasil karyanya :
        Simphoni (1957)
        Kejantanan Si Sumbing (1965)
12.  Trisnoyuwono
Hasil karyanya :
        Laki – laki dan Mesiu (1957)
        Angin Laut (1958)
        Di Medan Perang (1961)
        Kisah – Kisah Revolusi (1965)
        Pagar Kawat Berduri (1962)
        Bulan Madu (1962)
        Petualang (1963)
13.  Toha Mohtar
Hasil karyanya :
        Pulang (1958)
        Daerah Tak Bertuan (1963)
        Bukan Karena Kau (1968)
        Kabut Rendah (1968)
        Gugurnya Komandan Gerilya (1962)
14.  Purnawan Tjondronagaro
Hasil karyanya :
        Mendarat Kembali (1962)
15.  Bokor Hutasuhut
Hasil karyanya :
        Datang Malam (1963)
16.  Iwan Simatupang
Hasil karyanya :
        Petang di Taman (1966)
        Siasat Baru (1959)
        Ziarah, Kering, dan Merahnya Merah (1968)
17.  Motinggo Boesje
Hasil karyanya :
        Malam Jahanam (1958)
        Badai Sampai Sore (1962)
        Nyonya dan Nyonya (1963)
        Malam Pengantin di Bukit Kera (1963)
        Keberanian Manusia (1962)
        Nasihat Untuk Anakku (1963)
        Matahari dalam Kelam (1963)
        Tidak Menyerah (1962)
        Sejuta Matahari (1963)
        Buang Tonjam (1963)
        Dosa Kita Semua (1963)
        Tiada Belas Kasihan (1963)
        Batu Serampok (1963)
        Titisan Dosa di atasnya (1964)
        Ahim-Ha, Manusia Sejati (1963)
        Perempuan itu Bernama Barabah (1963)
        Dia Musuh Keluargaku (1968)
        Retno Lestari (1968)
18.  Kirdjomulyo
Hasil Karyanya :
        Romance Kecapi Sunda (Romance Perjalanan I) (1955)
        Orang – orang di Tikungan Jalan (1955)
        Penggali Intan (1957)
        Cahaya di Mata Emi (1968)
        Disaat Rambutnya Terurai (1968)
19.  Nasjah Djamin
Hasil Karyanya :
        Sekelumit Nyanyian Sunda (1964)
        Di bawah Kaki Pak Dirman (1967)
        Hilanglah Si Anak Hilang (1963)
        Helai-helai Sakura Gugur (1964)
        Gairah Untuk Hidup dan Untuk Mati (1968)
        Malam Kualalumpur (1968)
20.  H.M. Jusa Biran
Hasil Karyanya :
        Setengah Jam Menjelang Maut (1968)
        Menyusuri Jejak Berdarah (1968)
D.    Rujukan
Rosidi, Ajip.Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia.Binacipta: Jakarta

E.     Lampiran
PUISI
Kucari Musik
(Ajib Rosidi)

Kucari musik
Yang brisik
Yang berontak
Memberangsang

Kucari musik
Yang sejuk
Yang mengalun
Tenteram

Kucari musik. Setiap saat kucari musik.

Musik yang menggairahkan
Mengendap dalam hati.

Musik menyelinap dalam celah-celah waktu
Merasuk dalam jiwa
Mengusap luka-luka hidup yang nyeri
Dan menidurkan tangan-tangan durhaka yang lelah
Dalam pangkuanMu.

Maka kasihMu
Mengalir abadi.

Karakteristik Puisi:
-          Puisi ini menceritakan tentang Seseorang yang mencari kasih sayang Tuhan.Karena dengan kasih sayang dari Tuhan dapat menghilangkan lelah dan lukanya.
-          Mempunyai gaya ulangan kata yaitu Kucari dan Musik.
-          Gaya bahasa sederhana.

DRAMA
SINOPSIS DRAMA MASYITOH
(Ajib Rosidi)

            Pada zaman Fir’aun, terdapat sepasang suami istri, sang istri bernama Siti Masyitoh, suami Masyitoh bernama Obed.Masyitoh merupakan hamba sahaya dari Raja Fir’aun. sedangkan Obed berkerja membuat Piramida. Pada suatu hari saat Masyitoh sedang menyisir rambut Taia (anak Fir’aun) Masyitoh teringat anaknya yang sedang sakit di rumah dan dia tidak sengaja menjatuhkan sisir yang dipegangnya. Pada saat itu juga dia tanpa sengaja mengatakan “Demi Allah, celakalah Fir’aun” di depan Taia, lalu Taia menanyakan siapa Allah itu, Masyitohpun menjawab Allah adalah Tuhan semesta alam, mendengar perkataan itu Taiapun mengatakan kepada Fir’aun apa yang di katakan Masyitoh. Mendengar perkataan itu Fir’aun pun marah besar dan memerintahkan orang untuk menjemput Masyitoh.Di rumah Masyitoh, Obed sang suami menahan Orang utusan Raja Fir’aun untuk membawa Masyitoh, dan akhirnya Masyitoh, Obed dan Itamar anaknya yang masih kecil dibawa ke Istana Raja Fir’aun. Di sana Masyitoh dipinta untuk menyatakan bahwa Tuhannya adalah Raja Fir’aun, jika tidak Masyitoh akan dimasukan ke Kuali besar yang berisi Timah panas. Masyitohpun berkata bahwa tiada Tuhan selain Allah. Sesuai degan janjinya, Raja Fir’aun pun memasukkan Masyitoh serta semua keluarganya ke dalam penggorengan yang berisi timah panas. Begitulah Masyitoh, imannya tak tergoyahkan, mereka tidak berpaling dari akidah beriman kepada Allah, meskipun mereka sekeluarga harus mengorbankan nyawa.

Karekteristik Drama Masyitoh:
-          Tema novel diatas adalah Keteguhan hati orang-orang yang selalu memegang teguh keimanannya kepada Allah atas orang-orang kafir walau nyawa yang menjadi taruhannya.
-          Bahasanya mudah dipahami.
-          Istanasentris
SINOPSIS CERPEN ROBOHNYA SURAU KAMI
Cerpen “Robohnya Surau Kami” ini bercerita tentang seorang kakek yang hidupnya dihabiskan sebagai seorang penjaga surau (Garin). Namun, karena suatu peristiwa, kakek penjaga surau itu meninggal bunuh diri dengan sangat mengenaskan. Penyebab tertekannya kondisi psikologis dari kakek penjaga surau itu sehingga nekat bunuh diri hanyalah sebuah cerita dari Ajo Sidi yang sedikit banyak sangat menyentuh kakek tersebut.
Pada awalnya, surau yang dijaga oleh kakek adalah sebuah surau yang sangat teduh dan nyaman untuk bersembahyang. Keadaan begitu terbalik saat kakek penjaga surau itu telah meninggal dunia. Surau tersebut menjadi sebuah surau tua yang tidak lagi terawat dan sangat usang. Surau itu berubah menjadi tempat bermain anak-anak, dan yang lebih parah, bilik serta lantai kayu surau itu dijadikan sebagai persediaan kayu bakar bagi penduduk sekitar. Hal tidak mengenakkan ini berawal dari cerita Ajo Sidi tentang seorang yang di dunia taat beragama, yaitu Haji Saleh.
Dalam cerita Ajo Sidi, Haji Saleh adalah seorang yang taat menjalankan agama. Pada saat meninggal dunia, Haji Saleh serta orang-orang lainnya sedang menunggu giliran di akhirat untuk menerima penghakiman Tuhan untuk dimasukkan ke neraka atau ke surga. Saat gilirannya tiba, Haji Saleh tanpa rasa takut menjawab pertanyaan Tuhan tentang apa saja yang dilakukannya di dunia pada masa hidupnya. Haji Saleh dengan percaya diri berkata bahwa pada saat ia hidup di dunia, yang dilakukannya adalah memuji dan menyembah Tuhan, serta menjalankan ajaran agama dengan taat. Namun, Tuhan tidak memasukkan Haji Saleh ke surga, melainkan ke neraka. Di neraka, Haji Saleh bertemu juga dengan teman-temannya di dunia yang ibadahnya juga tidak kurang dari dirinya, bahkan ada juga orang yang sampai bergelar syekh. Akhirnya, karena tidak terima dengan keputusan Tuhan, orang-orang di neraka yang menganggap dirinya tidak pantas dimasukkan ke neraka itu melakukan aksi unjuk rasa kepada Tuhan. Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan pembicara bagi mereka. Sekali lagi, Tuhan menanyakan kepada mereka apa yang telah mereka lakukan di dunia. Mereka menjawab bahwa mereka semua adalah warga negara Indonesia yang taat beragama dan negaranya sangat kaya akan sumber daya alam, namun hasilnya sering di ambil oleh pihak asing. Lalu Tuhan menjawab kepada mereka, bahwa mereka semua hanya mementingkan diri mereka sendiri, karena selama hidup mereka hanya berdoa dan menyembah-Nya, tetapi tidak mempedulikan keadaan sekitar, sehingga banyak kekayaan negara mereka sendiri yang diambil oleh pihak asing, sedangkan anak cucu mereka sendiri hidupnya kekurangan.
Dari cerita Ajo Sidi itu, mungkin kakek penjaga surau itu merasa tersinggung dan terpukul. Karena selama hidupnya, kakek itu hanya menyembah dan memuji Tuhan, sampai-sampai tidak memiliki istri serta anak cucu. Kakek itu kemudian merasa marah dan tertek.
KARAKTERISTIK
        Tema dari cerita ini adalah hidup yang dikehendaki Tuhan. Hidup yang dikehendaki Tuhan bukan saja hidup dengan menyembah dan memuji nama-Nya terus menerus dan menjalankan perintah agama dengan baik, melainkan juga hidup yang peka dengan keadaan sekitar. Karena beribadah saja tidaklah cukup. Beribadah harus dibarengi dengan kerja keras dan peduli akan keadaan sekitar khususnya anak cucu, keluarga, serta semua orang di sekitar kita.
Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa menyembah dan memuji Tuhan serta nemnjalankan ajaran agama dengan taat bukanlah hal yang salah. Namun, terkadang manusia menjalankan ibadah dengan baik hanya supaya dirinya dapat masuk ke surga pada saat ia meninggal dunia. Hal tersebut sebenarnya adalah pemikiran yang sangat egois, dan dalam cerita “Robohnya Surau Kami” ini, Tuhan tidak suka akan manusia yang hidupnya hanya mementingkan diri sendiri. “Imbangilah ibadahmu yang baik dengan kerja keras untuk menyejahterakan hidupmu serta hidup keluarga, saudara, dan semua orang disekitarmu”, mungkin itulah pesan yang ingin disampaiakan oleh penulis melalui cerpen “Robohnya Surau Kami” ini.

Cerpen karya A.A. Navis ini bersetting tempat di sebuah desa kecil, dimana dalam desa tersebut terdapat sebuah surau yang awalnya sangat teduh dan nyaman untuk beribadah, namun kini menjadi sangat usang karena telah ditinggalkan oleh sang penjaga surau. Keusangan surau itu melambangkan kemasabodohan manusia yang tidak mau lagi memelihara apa  yang tidak dijaga lagi, seperti dalam kutipan cerpen diatas.
Share on Google Plus

About Cella Fania

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment