Mangan Ora Mangan Kumpul : Sketsa-sketsa
Umar Kayam
Mangan Ora Mangan Kumpul : Sketsa-sketsa
Umar Kayam(Kumpuloan kolom dalam harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta dari
12 Mei 1987 s/d 30 Januari 1990) merupakan buku terbitan PT. Pustaka Utama
Grafiti - Jakarta. Telah dilakukan beberapa kali cetakan mulai dari Cetakan I
Oktober 1990, Cetakan II Maret 1991, Cetakan III Juli 1992. Sedangkan aku
memiliki buku Cetakan IV Maret 1993. Buku ini kubeli di toko buku Sari Anggrek
di Padang tanggal 21 Februari 1995. Buku ini memiliki sekitar 472 lembar dengan
soft-cover.
Dikemas dalam gaya seloroh, nakal dan santai, kumpulan kolom
Umar Kayam ini mencuatkan sesuatu yang transendental. Teknik penulisannya pun,
uniknya, mengingatkan kita pada Obrolan Pak Besut di RRI Yogyakarta dahulu yang
menghadirkan sejumlah tokoh tetap, dan mengikat "alur cerita" dengan
warna lokal yang kental.
Jika kemudian warna lokal Jawa yang dipilihnya, agaknya harus dilihat lebih
sebagai alat menyampaikan kearifan dalam memandang kehidupan. Baginya, hidup
adalah harmoni, dan tidak selalu hitam putih. Komentar Goenawan Muhammad,
"Hidu, seperti tersirat dalam tulisan Umar Kayam ini, tidak bisa dilihat
secara ekstrem; banyak problem, tapi kita masih bisa selalu betah karena hidup
tak pernah jadi proses yang soliter."
Umar Kayam dilahirkan di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di
Jakarta 16 Maret 2002. Meraih gelar Ph.D. dari Universitas Cornell, Amerika
Serikat tahun 1965, budayawan yang mantan Dirjen RTF, ketua Dewan Kesenian
Jakarta, dan Rektor IKJ tershor juga sebagai bintang film spesialis Bung Karno,
kolumnis, cerpenis, dan penulis skenario film.
Buku ini berisi sekitar 127 sketsa Umar Kayam.
Latar belakang Jawa dengan lokasi Yogyakarta memang menunjuk dan tidak merujuk
kepada primordialisme atau bersifat "uber alles" kesukuan. Umar Kayam
mengambil latar itu sebagai simbol keberpihakannya pada kearifan dalam
memandang hidup yang dalam tulisan itu diwakili oleh tokoh Mr. Rigen &
Family sebagai tokoh pembantu rumah tangga atau wong cilik "from
Pracimantoro" Gunung Kidul sebagai orang nomor 1 dalam "kitchen
cabinet" rumah Pak Ageng yang menjadi tokoh mewakili orang
"sugih/priyayi" (kaya) yang kadang dipanggil "ndara/ndoro"
oleh Mr. Rigen & Family (mister Rigen dan Nansiyem serta anaknya
"thole" Beni Prakosa).
Coba baca satu sketsa dari buku tersebut
halaman 90-92 di bawah ini.
MEMBINA BUDAYA WONG CILIK
Kadang-kadang naluri priyayi feodal saya, harus saya akui,
memang masih mengalir dengan derasnya di otot-otot saya. Terutama naluri sadis
terhadap para kerabat wong cilik. Tentu bukan lagi sadisme pada zaman
Amangkurat, tetapi sadisme kecil-kecilan yang cukup membuat Mr. Rigen &
family frustrasi tidak keruan. Ah, tentu saja bukan macam sadisme kawan-kawan
ndoromas zaman kecil saya yang suka memberi tahu goreng, yang diam-diam mereka
penuhi dengan lombok rawit, kepada abdi mereka. Waktu para abdi itu pada
blingsatan kepedasan, kawan-kawan ndoromas itu pada tertawa cekakakan dengan
nikmatnya. Air mata mereka, para ndoromas itu, tidak kalah deras mengalir dari
mata mereka dibanding yang keluar dari mata para batur mereka. Cuma yang satu
air mata kegembiraan, yang satu air mata kepedihan. Weh, air mata kok ternyata
bisa kontekstual, lho ....
Tidak. Sadisme saya terhadap para anggota kitchen cabinet saya tentu lebih
canggih dan modern daripada para ndoromas yang dekaden itu. Misalnya pada Sabtu
sore, daripada melihat ketoprak di teve, saya kumpulkan mereka di ruang tengah
saya ajak main cerdas tangkas. Tentu saja targetnya mulia, bin ideal. Supaya
mereka menjadi batur-batur yang kelak punya wawasan intelektual yang luas.
Misalnya, saya akan bertanya: siapakah Sir Isaac Newton itu?
"Sinten, Pak?" tanya Mr. Rigen dengan pandangan bengong.
"Ser Aisaak Nyuten, bento."
"Wah, kita mboten kenal sama Sri Asiah saking Nyutran, itu Pak."
"We, gebleg tenan kowe. Saya cengklong gajimu Rp 100,00 satu minggu."
Muka keluarga itu mulai pucat. Mungkin batin mereka mulai ngunandika, "Majikan saya mulai kumat ini . . . ."
Adapun saya tertawa terkekeh-kekeh.
"Saestu, Iho, Pak. Saya sama Bune ini tidak punya sedulur dengan nama begitu di Nyutran. Atau jangan-jangan Bune?"
"Ora ki Pakne."
Dan Ms. Nansiyem pun menjawab suaminya dengan pandangan yang benar-benar
desperate. Habis, Rp 100,00 seminggu. Kalau majikannya kumat dengan cerdas
tangkas sadis begini tiap Sabtu sore, sambil mengorbankan ketoprak, harus bayar
berapa lagi nanti. Ha, ha, ha, haaa. Saya pun tertawa bagaikan Dursasana,
satria dari Banjarjungut itu.
"Ayo, satu pertanyaan lagi, Gen, Yem, Ben! Kalo kali ini tidak bisa lagi cengklong Rp 100,00 satu minggu lagi."
Mereka kelihatan tegang. Mata mereka sedikit mendelik. Saya pun mencari-cari
pertanyaan yang muskil tetapi canggih. Mau saya tanyakan urutan Pancasila dan
arti-artinya pasti mereka sudah akan mengetahui. Meskipun mereka belum lulus P4
paket satu jam pun, pastilah mereka sudah akan dapat dengan tangkas
menjawabnya. Wong Pancasila 'kan asli berakar di bumi kita, termasuk bumi
Pracimantara. Jadi, pasti mereka sudah mengenalnya. Saya tidak ikhlas kalau
mereka dapat dengan enak menjawab pertanyaan saya. Dan juga itu tidak mendidik!
"Nah, sekarang, Gen, Yem, Ben. Perhatikan. Dengar baik-baik. Jangan ngowoh. Apakah kalian setuju dengan konsep konflik kelas dari Karl Marx?"
Mr. Rigen memang lantas ngowoh betul. Kemudian rambutnya dicabuti.
"Wualah, Paak. Gek siapa lagi orang ituu. Menyerah, Pak. Menyerah saja Bune. Nggak usah dijawab!"
"Heit, kalau menyerah cengklongannya Rp 200,00 seminggu. Saya lebih menghargai orang yang ngawur daripada yang menyerah. Kalau ngawur itu masih ada harapan jadi orang. Kalau belum-belum menyerah mau jadi apa kowe? Cengklong Rp 200,00"
"Mati kita Bune, Ben. Gek berapa saja jumlah denda itu nanti. Habis gaji kita, Pak. Padahal bulan depan kita mau nyadran ke desa."
"Hus, jangan cengeng. Bagaimana kamu bisa jadi batur yang modern dan canggih, kalo belum-belum sudah cengeng begitu?"
Mereka duduk diam. Kekes, kecut hati mereka. Mungkin mereka ngunandika dalam hati: gek tadi malam Pak Ageng mimpi apa kok jadi kumat begini?
"Nah, sekarang pertanyaan satu lagi. Dengar baik-baik. Siapakah President Reagen itu?"
Tiba-tiba dengan sigap Ms. Nansiyem mengacungkan tangannya.
"Lha, nek niku ya Bapake tole, to, Pak!"
"Dapurmu. Aku tanya Reagen. Bukan Rigen sontoloyo. Cengklong lagi!"
Ketiga makhluk batur itu sekarang hanya bisa menundukkan kepala mereka.
"Sekarang benar-benar pertanyaan terakhir. Kalau sampai salah satu dari kalian tidak bisa menjawab aja takon dosa kalian!"
Mereka makin sigap lagi mendengarkan. Penuh konsentrasi dahsyat. Mata mereka kelap-kelip seperti lampu gereja.
"Siapakah Dr. Huxtable itu? Hayo, cepat jawab!"
Mr. Rigen nglokro. Ms. Nansiyem tidak marnpu lagi melolo matanya. Tiba-tiba si setan cilik Beni Prakosa mengacungkan tangannya.
"Saya, tahu, Pak Ageng. Saya tahu." Saya kaget.
"Kamu bener tahu, Le?"
"Iya, itu wong ileng di tipi. Ha, ha, ha . . . ."
Aha, jenius cilik. Akhirnya ada harapan juga pada generasi muda kita. Cerdas tangkas saya bubarkan. Cengklongan, tentu saja, tidak diterapkan. Begitu besar hati saya melihat kecerdasan Beni Prakosa. Sejak itu, setiap hari, saya sediakan sedikitnya satu jam untuk mengedril dia untuk macam-macam. Menghafal sajak-sajak. Baris-berbaris. Upacara bendera. Sajak yang paling dia senangi:
Halo, matahari
Aku di sini
Namaku Beni
Sajak yang paling saya senangi kalau dia deklamasi:
Halo, Pak Ageng
Engkau matahari
Matahari. Matahari, ma-to-ha-riiii ....
17 November 1987
Dari buku inilah aku mengenal jargon :
Maknyuss
Makbeup
dan lain-lain
Buku ini
memang buku lama, kalau tidak salah terbit sekitar akhir 1980-an. Buku ini
merupakan kumpulan kolom tulisan Umar Kayam di harian Kedaulatan
Rakyat. Ceritanya sendiri berkisah tentang sebuah keluarga yang
terdiri dari majikan dan keluarga pembantunya. Sang majikan bernama Pak Ageng,
yang berprofesi sebagai dosen. Sementara si pembantu merangkap tukang kebun dan
sopir sekaligus namanya Mister Rigen. Istri Mister Rigen bernama Nasiyem, dan
anak-anak mereka bernama Beny Prakosa dan Tholo-Tholo. Keluarga Pak Ageng
sendiri tinggal di Jakarta, jadi ia tinggal sendirian bersama keluarga pembantu
tadi.
Judul: Mangan
Ora Mangan Kumpul
Penulis:
Umar kayam
Penerbit:
Grafiti Pers
Terbit:
VII, 2012
Halaman:
458
Menyampaikan persoalan yang
terjadi dalam masyarakat tidak harus dilakukan dengan gaya yang serius ataupun
"berat". Gaya yang sederhana dan penuh seloroh dapat juga digunakan
agar pesan dapat lebih mudah dikomunikasikan.
Itu yang dapat ditangkap
ketika membaca kolom-kolom Umar Kayam yang terdapat dalam buku Mangan Ora Mangan Kumpul ini. Gaya tulisannya tidak sekadar santai
melainkan juga ringan dan renyah. Tak jarang pembaca juga akan dibuat tersenyum
saat "mengunyah" isi tulisan di dalamnya.
Buku ini
banyak mengetengahkan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat
kontemporer. Di dalamnya terdapat masalah politik, birokrasi, kemasyarakatan,
ekonomi, hingga persoalan kultural.
Umar
Kayam seakan berusaha untuk memeras realitas tersebut sehingga sari pati setiap
persoalan dapat keluar untuk kemudian dinikmati oleh pembaca. Lusinan masalah
dan persoalan ia ungjkapkan dalam kolom-kolomnya. Nukan sekadara m,salah, namun
hal-hak yang nyata menuntut penyelesaian.
Formula
racikan itu bisa dapat bermacam-macam, salah satunya adalah sentuhan kultur
Jawa-- apalagi kolom-kolomnya terbit di harian Kedaulatan Rakyat yang terbit di
Yogyakarta.Lewat
kolom-kolom itu Umar Kayam bukan mengguggat, ataupun melakukan kritik secara
langsung, ia hanya melakukan dekodefikasi, untuk kemudian ia sampaikan kepada
pembacanya dengam racikan yang lebih "sedap" bagi pembaca.
Dalam
kolom-kolomnya Umar Kayam tidak memosisikan dirinya sebagai guru atau sosok
yang lebih tahu dari orang lain, melainkan sosok yang orang biasa.
Karenanya ia dapat lebih bebas mengomentari setiap hal yang dilihatnya.
Sampul cetakan pertama,
1991.
|
Dalam
kolom-kolomnya, Umar Kayam menampilkan tokoh-tokoh yang dekat dengannya.
Bukan tokoh yang kelewat hebat dan terhormat, melainkan pembantu rumah tangga
atau batur. Pembantu yang selalu berpikir serba
sederhana itu justru ia gunakan untuk melakukan "pembalikan",
merontokkan yang serba mapan, serba tinggi dan serba tidak tersentuh.
Pemberian
nama tokoh-tokh pembantunya tersebut pun sudah meriupakan sebuah pembalikan,
yakni Rigen dan Nansiyem, yang merupakan plesetannama presiden Amerika Serikat dan istri,
Ronald Reagan dan Nancy Reagan.
Membaca
kolom-kolom Umar Kayam, pembaca akan seperti melihat diri sendiri, persoalan
sendiri, bahkan mentertawakan diri sendiri, karena memang kita lekat dengan
persoalan-persioalan yang dikemukakan oleh Umar Kayam.***
Blogger Comment
Facebook Comment