OTONOMI DAERAH (DESENTRALISASI)

OTONOMI DAERAH (DESENTRALISASI)
                                                                    




MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Pancasila
yang dibina oleh Bapak Drs. Margono., M.Psi



Oleh:
  1. Mega Putri Pratama K            (1502100054)
  2. Mega Yulia Citra                    (1502100055)
  3. Cella Fania                              (1502100056)










POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN D3 KEBIDANAN
2015



 

 

KATA PENGANTAR


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT,Tuhan Semesta Alam karena atas izin dan kehendak-Nya makalah sederhana ini dapat kami selesaikan tepat pada waktunya. Penulisan dan pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila. Adapun yang kami bahas dalam makalah sederhana ini mengenai Otonomi Daerah.
Dalam penulisan makalah ini kami menemui berbagai hambatan yang dikarenakan terbatasnya Ilmu Pengetahuan kami mengenai hal yang berkenaan dengan penulisan makalah ini. Oleh karena itu sudah sepatutnya kami berterima kasih kepada dosen pembimbing kami yakni Bapak Drs. Margono., M.Psi. yang telah memberikan ilmu yang berguna kepada kami.
Kami menyadari akan kemampuan kami yang masih amatir. Dalam makalah ini kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi kami yakin makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritik membangun agar lebih maju di masa yang akan datang.
Harapan kami, makalah ini dapat menjadi track record dan menjadi referensi bagi kami dalam mengarungi masa depan. Kami juga berharap agar makalah ini dapat berguna bagi orang lain yang membacanya.



Malang, 29 September 2015




Penyusun



DAFTAR ISI

                                                                             
KATA PENGANTAR.. i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN.. 1
1.1.       LATAR BELAKANG.. 1
1.2.       RUMUSAN MASALAH.. 3
BAB II PEMBAHASAN.. 4
2.1.       Pengertian Otonomi Daerah. 4
2.2.       Prinsip-prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah. 5
2.3.       Asas-asas Pelaksanaan Otonomi Daerah. 7
2.4.       Tujuan Otonomi Daerah. 8
2.5.       Alasan Penting Otonomi Daerah. 9
2.6.       Otonomi Desa. 10
BAB III PENUTUP. 13
3.1.       KESIMPULAN.. 13
3.2.       SARAN.. 13
DAFTAR PUSTAKA.. 15



BAB I

PENDAHULUAN


1.1.            LATAR BELAKANG

Sejak awal 1990-an telah berkembang berbagai wacana di antara para pemerhati pemerintahan tentang desentralisasi pemerintah di Indonesia. Persatuan Sarjana Ilmu Administrasi (PERSADI) bisa di catat sebagai salah satu pelopor dalam wacana ini. Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) mengikuti jejak PERSADI dalam mengembangkan berbagai kajian kritis terhadap konsep otonomi yang tertuang dalam UU No.5 Tahun 1974. Secara umum ada dua pendapat yang menampilkan dalam diskusi-diskusi itu: pertama, bahwa UU No.5 Tahun 1974 masih relevan, hanya belum dilaksanakan secara konsisten. Pendapat ini kemudian mendorong lahirnya kebijakan pemerintah berupa proyek percontohan otonomi di satu daerah tingkat II untuk masing-masing provinsi. Kedua, bahwa UU No.5 Tahun 1974 sudah harus di ganti sama sekali.
Pendapat pertama bisa berlindung dibalik alasan bahwa pemerintahan daerah yang berlaku saat itu memang belum sepenuhnya mencerminkan konsep UU No.5 Tahun 1974. Titik berat otonomi pada daerah tingkat II (kabupaten dan kota madya), yang merupakan amanah pasal 11 ayat 1 UU No.5 Tahun 1974 belum terwujud. Keengganan pemerintah pusat untuk mendelegasikan wewenang ke daerah memang berlebihan. Khususnya kepala daerah yang justru menikmati sistem sentralistik itu karena itu membebaskan mereka dari tanggung jawab politik terhadap DPRD dan masyarakat di daerah atas setiap kebijakan yang dilakukannya
Di lain pihak sistem pemerintahan daerah menurut UU No.5 Tahun 1974 itu telah menyulitkan lahirnya pemerintahan dengan akuntabilitas publik yang cukup, dan karena itu tidak sejalan dengan aspirasi demokratisasi pemerintahan. Keadaan ini memperkuat argumen untuk meninggalkan konsep otonomi yang sedang berlaku dan menggantinya dengan sesuatu yang baru. Pendapat ini menguat setelah kita memasuki era reformasi, menyusul jatuhnya kekuasaan Suharto.
Konsep otonomi menurut UU No.5 Tahun 1974 dipandang sebagai penyebab berbagai kekurangan yang menyertai perjalanan pemerintahan di daerah selam lebih dari dua dekade terakhir. Kenyataan belum di perolehnya pemimpin akibat dari pola rekrutmen yang telah memberi pembenaran terhadap berlakunya rekayasa pemilihan pemimpin pemerintahan yang tidak transparan dan tidak memiliki “ sains of public accontibility” dan kurangnya kewenangan yang diletakkan di daerah juga menjadi penyebab dari lemahnya kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah dalam menjawab berbagai tantang.
Keleluasaan untuk menetapkan prioritas kebijakan memang tidak tersedia, semua keputusan penting hanya bisa di ambil oleh pemerintah pusat. Akibatnya, selalu terjadi kelambanan dalam merespon dinamika dan permasalahan yang terjadi di daerah. Dalam keadaan ini partisipasi masyarakat menjadi sangat lemah.
Tiadanya kewenangan daerah dalam proses rekrutmen dan promosi pegawai, serta kakunya organisasi pemerintahan di daerah akibat di terapkannya pola uniformitas telah menyebabkan tidak efektifnya daya kerja birokrasi.
Pendekatan sentralistik yang dipakai sering kali dilandaskan kepada argumentasi padahal, argumen ini tidak memiliki dasar yang kuat. Disamping itu, secara teoritik, dengan kebinekhaan budaya masyarakat Indonesia, keaneragaman komidi geografis, dan kesenjangan tingkat kesejahteraan antara satu daerah dengan daerah lain mestinya menyulitkan kita untuk menerapkan pendekatan yang seragam dalam proses pemerintahan daerah.
Dari berbagai wacana itu pemerintahan Habibie kemudian sampai pada kesimpulan bahwa kebijakan desentralisasi yang baru diperlukan demi menyelamatkan kelangsungan hidup bangsa dan NKRI. UU No.5 Tahun 1974 harus dirubah. Hasil dari perubahan itu tertuang dalam UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999.



1.2.            RUMUSAN MASALAH

1.1.1.      Apa itu otonomi daerah ?
1.1.2.      Prinsip-prinsip pelaksanaan otonomi daerah ?
1.1.3.      Asas-asas pelaksanaan otonomi daerah ?
1.1.4.      Tujuan otonomi daerah ?
1.1.5.      Alasan penting otonomi daerah ?
1.1.6.      Otonomi desa ?



BAB II

PEMBAHASAN

2.       

2.1.   Pengertian Otonomi Daerah

Kata otonomi berasal dari bahasa Yunani, auto yang berarti sendiri; dan nomos yang artinya hukum. Jadi otonomi berarti hukum sendiri; artinya bertindak atas dasar hukum/aturan yang dibuat oleh diri sendiri (desentralisasi). Kebalikannya adalah bertindak atas dasar hukum/aturan yang dibuat oleh pihak lain (sentralisasi).
Otonomi berarti keleluasaan atau kekuasaan mengatur diri sendiri sesuai dengan prakarsa dan aspirasinya berdasarkan aturan yang berlaku. Oleh karena itu otonomi sesungguhnya adalah kemandirian, keleluasaan, atau kebebasan untuk mengatur diri sendiri.
Dalam teori ketatanegaraan dibedakan dua macam sistem pelaksanaan kekuasaan, yaitu sentralisasi dan desentralisasi. Sistem sentralisasi adalah sistem kekuasaan yang sepenuhnya diatur oleh pemerintah pusat. Daerah-daerah kabupaten/kota maupun provinsi tinggal melaksanakannya. Sistem desentralisasi adalah sistem pemerintahan dimana pemerintah daerah memiliki kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan kebutuhan potensi daerah masing-masing. Kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya di sebut hak otonomi.
Otonomi daerah juga berarti kesempatan membangun struktur pemerintah yang sesuai dengan kebutuhan daerah, membangun sistem dan pola karier politik dan administrasi yang kompertitif, serta mengembangkan sistem Management pemerintahan yang efektif.
Istilah otonomi daerah sering disamakan dengan desentralisasi, walaupun di dalam UU. No. 32/2004 kedua hal tersebut dengan tegas diberi makna yang berbeda, bahkan sifatnya sangat esensial. Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia

2.2.   Prinsip-prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah

Apabila kita mengacu pada kebijakan otonomi yang digariskan dalam UU No.5 Tahun 1974 disebutkan bahwa prinsip otonomi yang dipakai adalah prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.
Nyata berarti bahwa pemberian otonomi kepada daerah haruslah didasarkan pada faktor-faktor, perhitungan-perhitungan dan tindakan-tindakan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang benar-benar dapat menjamin daerah yang bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangga sendiri.
Bertanggung jawab berarti bahwa pemberian otonomi itu benar-benar sejalan dengan tujuannya yaitu melancarkan pembangunan yang terbesar di seluruh pelosok negara dan serasi atau tidak bertentangan dengan pengarahan-pengarahan yang telah diberikan, serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa, menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah serta dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah.
Berdasarkan UU No.22 Tahun 1999, konsep otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggungjawab pada implementasinya lebih bertumpu pada sisi otonomi daerah yang luas dan nyata saja dengan resepsi yang beragam. Dengan adanya resepsi yang kurang tepat, dalam pelaksanaannya otonomi luas dianggapnya daerah dengan leluasa dalam penyelenggaraan pemerintah daerah dapat melakukan pengaturan sekehendaknya, tanpa adanya kepedulian terhadap ketentuan yang lebih tinggi. Sedangkan aspek otonomi daerah yang bertanggungjawab cenderung kurang mendapat perhatian serius dari daerah.
Dalam aplikasinya konsep otonomi daerah berdasarkan UU No.22 Tahun 1999 itu ada yang sudah tepat, ada yang belum tepat dan ada yang tidak tepat. Prinsip otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab yang seharusnya dilaksanakan oleh masyarakat sejauh ini dalam implemasinya masih didominasi oleh Pemda dan DPRD yang sering kali melupakan aspek filosofi dan penyelenggaraan otonomi daerah.
Di Indonesia saat ini, ada beberapa prinsip yang menjadi acuan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Tidak hanya nyata dan bertanggung jawab tetapi ada juga prinsip otonomi seluas-luasnya yang persepsinya tepat tanpa melampaui koridor otonomi. Prinsip otonomi seluas-luasnya berarti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat, sebagaimana yang di tetapkan dalam UU No.32 Tahun 2004. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah, memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Prinsip otonomi nyata artinya, bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai dengan potensi kekhasan daerah. Prinsip otonomi bertanggung jawab artinya, bahwa penyelenggaraan otonomi harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya merupakan sarana memberdayakan daerah, termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang menjadi bagian utama dari tujuan nasional.
Di samping ketiga prinsip tersebut di atas, terdapat beberapa hal yang perlu di perhatikan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Otonomi daerah berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Otonomi daerah juga menjamin keserasian hubungan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain dalam bentuk kerjasama. Otonomi daerah diharapkan mampu menjamin hubungan yang serasi antara daerah dan pemerintah dalam kerangka menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan negara.
Otonomi daerah pada dasarnya adalah upaya untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Terkait dengan hal tersebut, peran pemerintah pusat dalam kerangka otonomi daerah adalah melakukan pembinaan, dengan memberikan pedoman, seperti dalam penilaian, pengembangan, perencanaan, dan pengawasan; memberikan standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan dan evaluasi; dan memberikan fasilitas, yaitu berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi daerah dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

2.3.   Asas-asas Pelaksanaan Otonomi Daerah

Prinsip utama yang di terapkan dalam sistem pemerintahan daerah dengan menggunakan tiga asas pemerintahan, yaitu: desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantu. UU No.5 Tahun 1974 memberikan pengertian desentralisasi sebagai pelimpahan urusan-urusan pemerintahan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah tingkat atasnya kepada pemerintah daerah untuk menjadi urusan daerah yang bersangkutan. Sedangkan dekonsentrasi diberikan definisi sebagai pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal kepada pejabat-pejabatnya di daerah. Tugas pembantu diartikan sebagai tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintah yang ditugaskan kepada pemerintah daerah oleh pemerintah atau pemerintah daerah tingkat atasannya dengan kewajiban mempertanggung- jawabkan kepada yang menugaskannya.
Pelaksanaan desentralisasi dan dekonsentrasi secara paralel tersebut telah menyebabkan adanya dua jenis pemerintahan di daerah. Perama adalah pemerintah atas dasar desentralisasi yaitu melahirkan adanya pemerintah daerah otonom. Kedua, adanya pemerintah wilayah atas dasar prinsip dekonsentrasi.
Di dalam penyelenggaraan pemerintahan, secara umum terdapat 9 (sembilan) asas umum dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, yaitu kepastian hukum; maksudnya, apapun yang dilakukan pemerintah daerah haruslah berdasarkan hukum yang berlaku. Tertib penyelenggaraan negara; maksudnya penyelenggaraan pemerintah daerah harus dilaksanakan sesuai dengan tertib administrasi negara. Kepentingan umum; maksudnya apapun yang dilakukan oleh pemerintah daerah haruslah untuk kepentingan umum. Keterbukaan; maksudnya masyarakat harus tahu apa yang dilakukan oleh pemerintahnya dan tidak boleh ditutup-tutupi. Proporsionalitas; maksudnya penyelenggaraan negara harus seimbang, tidak boleh berat sebelah. Profesionalitas; maksudnya penyelenggaraan pemerintah daerah harus dilakukan oleh orang yang ahli di bidang masing-masing. Akuntabilitas; maksudnya pemerintah harus bisa mempertanggungjawabkan tindakannya kepada masyarakat. Efisiensi; maksudnya penyelenggaraan pemerintah daerah harus bisa dijalankan dengan baik dengan waktu, dana, dan tenaga seminimal mungkin. Dan efektivitas; maksudnya, penyelenggaraan pemerintah daerah harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dalam mewujudkan tujuan.

2.4.   Tujuan Otonomi Daerah

Tujuan dari pemberian otonomi kepada daerah adalah sebagai berikut. Otonomi daerah hendak mewujudkan sistem pemerintahan demokrasi (pemerintahan rakyat), memeratakan pembangunan di seluruh wilayah tanah air, memberdayakan seluruh potensi bangsa, baik potensi sumber daya manusia maupun sumber daya alam, menciptakan dan membentuk sikap kemandirian bangsa.
Adapun tujuan otonomi daerah utamanya terkait dengan peningkatan kualitas pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Tujuan dari otonomi daerah menurut undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 2 ayat 3 menyebutkan bahwa tujuan otonomi daerah ialah menjalankan otonomi yang seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang memang menjadi urusan pemerintah, dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.
Salah satunya berupa kemampuan untuk merespon dinamika masyarakat setempat secara lebih tepat, cepat dan kreatif. pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Menjadi medium pendidikan politik di tingkat lokal dan medium penyediaan pelayanan yang efektif, efisien dan ekonomis.
Dengan otonomi daerah, pemerintah daerah bersama-sama dengan rakyat mengatur dan mengurus pemerintahan daerahnya secara mandiri, tidak tergantung pada fihak lain. Otonomi daerah hendak meningkatkan kesejahteraan rakyat, meningkatkan pelayanan umum, dan meningkatkan daya saing daerah.

2.5.   Alasan Penting Otonomi Daerah

Beberapa faktor yang menjadi latar belakang (reasoning) perlunya desentralisasi khususnya di negara sedang berkembang (Indonesia) muncul dari dua sisi, yaitu dari dalam dan luar negara. Secara umum berbagai alasan itu dirangkum sebagai berikut.
Otonomi daerah dapat mempercepat angka pertumbuhan dalam pembangunan, otonomi daerah untuk mengintegrasikan daerah yang beragam kondisi sosial ekonominya, pengembagan SDM dalam rangka mengatasi persoalan kemiskinan (ekonomi dan politik) di daerah, adanya keterbatasan kemampuan pemerintah pusat untuk menanggung dan melaksanakan seluruh urusan pemerintahan dan kemasyarakatan yang semakin berat, otonomi daerah merupakan suatu asas atau cara pemberian kesempatan yang relatif luas bagi tumbuhnya partisipasi masyarakat.
Penting otonomi daerah dapat di rumuskan dalam 3 ruang lingkup interaksinya yang utama: ekonomi, sosial dan budaya.
      Dibidang politik, karena otonomi daerah adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokratis, maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara satu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggung jawaban publik. Artinya untuk setiap kebijakan yang diambil, harus jelas siapa yang mimprakarsai kebijakan itu, apa tujuannya, berapa ongkos yang dipikul, siapa yang akan diuntungkan, apa resik yang harus ditanggung dan siapa yang harus bertanggungjawab jika kebijakan itu gagal.
      Dibidang ekonomi, otonomi daerah di satu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional didaerah, dan dilain pihak terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk memberdayagunakan potensi ekonomi di daerahnya. Dalam konteks ini, otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perizinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaraan ekonomi di daerahnya. Dengan demikian otonomi daerah akan membawa masyarakat keringat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu kewaktu.
      Dibidang sosial budaya, otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespon dinamika kehidupan disekitarnya.
      Untuk mewujudkan otonomi daerah yang sesungguhnya, Samego (1998) mengemukakan adanya landasan dasar yang harus dipenuhi sebelumnya oleh pemerintahan pusat dan juga daerah. Otonomi itu bukan hanya menunggu pemberian pusat, tetapi adalah bagaimana daerah mendapatkannya. Sedangkan Rondinelli (1985) mengemukakan syarat adanya otonomi daerah atau desentralisasi adalah seperti berikut. Terciptanya kondisi politik, adminisratif, keorganisasian dan perilaku tertentu yang mendukung terjadinya transfer kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah serta yang mendukung keleluasaan daerah dalam men-jalankan kewenangan.
      Lebih lanjut, Golberg (1996) mengemukakan prasyarat adanya desentralisasi adalah adanya kemandirian dari daerah untuk membiayai segala bentuk kegiatan pemerintahan, serta adanya keterlibatan, partisipasi, masyarakat terhadap semua kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Saran Bank Dunia (1995) bahwa otonomi keuangan dari pemerintahan daerah merupakan syarat terwujudnya desentralisasi.

2.6.   Otonomi Desa

Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, artinya desa tidak lagi menjadi bawahan kecamatan. Desa memiliki kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri yang berdasarkan susunan asli, asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penjelasan tentang pemerintah desa tercantum dalam UU No.32 th 2004 tentang pemerintahan daerah pasal 202. Pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. Perangkat desa terdiri atas sekretaris desa dan perangkat desa lainnya.
Tugas dan kewajiban kepala desa dalam memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa diatur lebih lanjut dengan perda berdasarkan peraturan pemerintah. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, kepala desa bertanggung jawab kepada rakyat melalui badan permusyawaratan desa (BPD) serta menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya kepada Bupati. Badan permusyawaratan desa (BPD) berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
Penjelasan tentang  pemerintah desa tercantum juga dalam pasal 1 poin 12 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Kehadiran undang-undang ini awalnya diharapkan memberikan porsi yang jelas bagi desa untuk masuk ke dalam agenda otonomi daerah sebagai sebuah daerah otonom. Kenyataannya, undang-undang tersebut hadir dengan persoalan lain: “tidak diakuinya STATUS desa sebagai daerah otonom”.
Tetapi desa memiliki ciri dari pemerintah otonom dimana pemerintah otonom diberi kewenangan mengatur urusan yang sejatinya merupakan urusannya sebagaimana diatur pada pasal 206 yang mencangkup:
a)      urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa.
b)      urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa.
c)      tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota.
d)     urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada desa.
Desa juga diberi otonomi di bidang politik oleh undang-undang. Pada Pasal 203 ayat (1), "Kepala desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1) dipilih langsung oleh dan dari penduduk desa warga negara Republik Indonesia yang syarat selanjutnya dan tata cara pemilihannya diatur dengan Perda yang berpedoman kepada Peraturan Pemerintah." 
Desa telah diakui sebagai daerah otonom dari penjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 nomor 10 tentang Desa.   Pada akhir alinea pertama dan awal alinea kedua, terdapat "... Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, OTONOMI ASLI, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat." dan "Undang-Undang ini MENGAKUI OTONOMI yang DIMILIKI oleh DESA ataupun dengan sebutan lainnya dan kepada desa melalui pemerintah desa..."

           


BAB III

PENUTUP

3.       

3.1.   KESIMPULAN

Otonomi daerah pada dasarnya bukanlah tujuan, melainkan alat dalam rangka terwujudnya cita-cita keadilan, demokrasi dan kesejahteraan rakyat. otonomi daerah yang lahir dengan tujuan untuk menyelamatkan pemerintahan dan ketuhanan negara, membebaskan pemerintah pusat dari beban yang tidak perlu, mendorong kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah dan masyarakat daerah dalam mengejar kesejahteraan, ternyata dalam perjalanannya mengalami distorsi pemahaman yang lumayan memperhatikan.
Otonomi daerah bukan hanya pelimpahan wewenang (delegation oi authority) dari pemerintah pusat pada daerah. tetapi merupakan penyerahan wewenang (devolution of power).
Otonomi juga daerah bukan hanya sekadar reorientasi paradigma self local government menjadi self local governance sebagaimana yang disitir Stoker (1998) melalui teori governance, tetapi juga harua ditindaklanjuti dengan restrukturisasi pelaksanaan otonomi daerah yang sarat dengan nilai kebebasan (liberty), partisipasi, demokrasi (democracy), accountability dan efisiensi (efficiency).
Tiga alasan pokok mengapa negara sedang berkembang perlu mengembangkan desentralisasi, yaitu terbatasnya kemampuan pemerintah pusat untuk melaksanakan seluruh fungsi politik dan publiknya yang semakin kompleks, berkembangnya masyarakat madani
yang memiliki preferensi besar untuk terlibat dalam kegiatan publik dan politik, dan desentralisasi merupakan figur pemerin-tahan di masa yang akan datang.

3.2.   SARAN

Untuk mencegah terjadinya kebijakan-kebijakan daerah yang terlalu melebar dan diluar koridor otonomi yang diberikan, maka peran kontrol, supervisi dan fasilitasi menjadi sangat mendesak untuk dilaksanakan secara intensif, tanpa harus mematikan kreativitas dan inovasi yang sangat dibutuhkan dalam menjalankan otonomi daerah tersebut.
Diperlukan partisipasi aktif dari masyarakat untuk memberi tanggapan atas informasi laporan pertanggungjawaban pemerintah desa yang telah disampaikan kepada masyarakat. Saran yang bisa diajukan untuk dapat mengembangkan otonomi daerah atau desentralisasi sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya adalah melakukan reinventarisasi dan revitalisasi sumber daya (SDA dan SDM).
Otonomi daerah juga perlu melibatkan segenap masyarakat yang ada di wilayah daerah untuk mengatasi berbagai bentuk kebutuhan pemerintahan dan pembangunan, Jadi ada otonomi keuangan, Untuk itu, perlu ada transparansi dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban kepada semua pihak, baik yang ada di dalam maupun di luar pemerintahan. Hal ini akan menumbuhkan kepercayaan, keterlibatan, partisipasi, rasa memiliki, kebebasan, efisiensi dan demokrasi. Proses menuju terwujudnya desentralisasi harus berasal dari bawah, sifatnya bottom-up, bukan kehendak dari atas (top-down). Adanya struktur organisasi yang terbuka dan aktif sehingga memungkinkan setiap anggota untuk terlibat, mengontrol, dan menjadi pengurus organisasi.




DAFTAR PUSTAKA


Haris, Syamsuddin. 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI Press.
SM, Oentarto., Suwandi, I Made., & Rayadmadji, Dodi. 2004. Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan. Jakarta: Samitra Media Utama.
Sabarno, Hari., 2007. Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa. Jakarta: Sinar Grafika.
Undang-Undang No.32 Tahun 2004.


Share on Google Plus

About Cella Fania

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment